kad2

duit bux

>>> Jika Anda pengunjung muslim mohon baca Shalawat sejenak dengan khusyu', terimakasih... <<<

Minggu, 23 Februari 2014

Jiwa Shalat Lebih Baik Dari Pada Shalat

Jiwa Shalat Lebih Baik Dari Pada Shalat23 Februari 2014 pukul 8:37 
by : JALALUDDIN RUMI (Maulana Rumi)

Seseorang ditanya, apakah yang lebih istimewa dibanding Shalat. Jawabannya, seperti yang telah kami katakan, bahwa Jiwa Shalat lebih baik dari pada Shalat. Jawaban lain ialah bahwa IMAN LEBIH BAIK DARI PADA SHALAT, karena Shalat diwajibkan 5 kali sehari, sedang IMAN TIDAK BOLEH TERPUTUS. Orang dapat dimaafkan dari Shalat dengan alasan yang benar, juga diizinkan menunda shalat. Iman tanpa Shalat patut diberi ganjaran, sedangkan Shalat tanpa Iman, seperti Shalatnya orang Munafik, tidak memperoleh apa-apa. Shalat berbeda berdasarkan Agama. Sedangkan Iman tidak akan berubah karena perbedaan Agama. Keabadian dan Universalitas Iman meliputi berbagai hal, Keadaannya, Perhatiannya dan lain2. Juga ada perbedaan lain. Seseorang dapat mendengar Wahyu sesuai derajat kemampuan ketertarikannya kepada Wahyu tersebut. Seorang Pendengar Wahyu seperti tepung terigu di tangan seorang pengadon; Wahyu itu bagaikan air, dan "Ukuran Air yang benar mesti dikocok ke dalam tepung terigu".

Dikutip dari : Buku Yang Mengenal Dirinya Yang Mengenal Tuhannya.
                   Aforisme - Aforisme Sufistik Jalaluddin Rumi


Mataku melihat pada yang lain.
Apa yang seharusnya aku lakukan?
Mengeluhlah tentang dirimu,
karena Engkau adalah Cahaya Mataku!

"Mataku melihat pada yang lain"
berarti mencari titik kepuasan selain dirimu.
"Apa yang mesti aku lakukan? Engkau adalah Cahaya",
"berarti Engkau bersama dirimu sendiri.
"Janganlah engkau keluar dari dirimu sendiri,
karena Cahayamu akan menjelma menjadi
Ratusan Ribu Dirimu!"

Diceritakan suatu ketika ada seorang lelaki dengan perawakan kecil,
lemah dan hina bagaikan burung kecil yang terkutuk.
Bahkan setiap pandangan buruk yang melihatnya
selalu diiringi dengan rasa jijik dan
disertai rasa syukur kepada Tuhan,
karena mereka tidak seburuk dia.
Meskipun sebelum melihat dia mereka pernah mengeluhkan
wajah buruk mereka. Tidak hanya itu. Laki laki itu juga selalu
berbicara kasar dan pembual besar. Seorang anggota istana
raja yang selalu menyakiti seorang menteri, karena dia sabar,
suatu ketika merasa tak tahan lagi melihat keadaan itu dan
berteriak, "Hai orang orang istana! Kita telah mengambil
orang tak berharga ini dari selokan dan mendidiknya.
Berterimakasihlah! Karena kemakmuran dan kemurahan hati kita,
juga karena leluhur kita, dia menjadi orang penting.
Tapi kini, dia datang dan berbicara kepadaku dengan cara seperti ini?!"

"Seorang pengikut yang peduli pada Hamba Tuhan akan memiliki
Kemurnian Jiwa. Siapa pun yang dididik dan diajari untuk menipu
atau berbuat munafik, dia akan menjadi orang yang menyedihkan,
lemah, tidak berdaya, hina, ragu-ragu dan bingung sebagaimana
yang mengajarinya. Karena mereka yg tidak beriman, pendukungnya
adalah Thagut. Mereka akan membawanya dari Cahaya ke dalam
Kegelapan!" (Qur'an Surat 2 : 257).

"Seluruh pengetahuan pada asalnya dianugerahkan kepada Adam,
hingga segala hal yang tersembunyi menjadi terlihat melalui jiwanya.
Persis seperti air jernih yang menampakkan batu dan tanah liat di
bawahnya, dia juga memantulkan setiap benda yang ada di atasnya!"
pada permukaannya yang jernih itu. Itulah sifat Sejati Air.
Meski demikia, ketika tercampur kotoran atau keruh karena masuknya
warna lain, air jernih itu akan kehilangan sifat hakikinya.
Dia melupakan betapa Tuhan telah mengirimkan Nabi dan Orang Suci
seperti air jernih. Agar air keruh dan berwarna itu "disapa" kembali
oleh air jernih, Sehingga ia dapat membebaskan dirinya dari
kekeruhan dan campuran warna lain.
Air keruh itu kemudian mengalami proses pengingatan kembali.
Ketika melihat air jernih yang "menyapanya", air keruh itu menjadi
sadar, bahwa dia asal mulanya jernih. Kekeruhan dan pencampuran
warna lain terjadi karena suatu peristiwa yang tidak ia sengaja!
Dia mengenang keadaan dirinya sebelum terjadinya kecelakaan itu
dan berkata : "Inilah yang ada awalnya kami miliki!" (QS 2:25).

Para Nabi dan Orang Suci, dengan demikian, adalah "pengingat"
atas keadaan masa lalu seseorang. Mereka tidak meletakkan sesuatu
yang baru ke dalam hakikat seseorang. Sekarang setiap air keruh
yang mengenali air jernih itu akan berkata : "Aku berasal dari itu".
lalu bercampurlah dengannya. Tetapi jika air keruh itu tidak mengenali
air jernih yang mengingatkan asal mulanya dan berpikir dirinya berbeda
dengan yang lain, dia akan menolak proses terjadinya kekeruhan,
pencampuran warna lain dalam dirinya, hingga dia tidak akan lagi
bercampur dengan lautan yang Maha Luas. Mereka bahkan menjadi
lebih asing dari laut.

"Mereka yang menyadari ikatan kebersamaannya akan terikat bersama,
 Mereka yang menolak ikatan kebersamaannya hancur redam terpisah-pisah"

Persis seperti firman ALLAH, telah datang utusan kepada kalian dari
golongan kalian sendiri (QS. 9:128). Ayat itu bermakna bahwa air jernih
yang agung itu berasal dari jenis serupa dengan air keruh yang hina.
Mereka berbagi Jiwa dan Hakikatnya yang serupa.
Ketika "yang sedikit" tidak mengenali "yang besar" dan agung memiliki
jiwa dan hakikat yang sama dengannya, maka pengenalan yang akan
datang padanya bukan dari air itu sendiri. Melainkan dari kejahatan
yang membisikinya. Kejahatan itu memantul di atas permukaan air
hingga dia tidak tahu apakah alirannya berasal dari air laut yang luas
dan agung atau berasal dari pantulan kejahatan. Antara keduanya
begitu dekat, sehingga dia tak mampu untuk membedakannya.

Dengan cara serupa, seonggok tanah liat yang sedikit dan hina tidak
mengetahui apakah dia berasal dari lumpur yang datang dari dirinya
sendiri atau karena munculnya sejumlah penyebab lain yang bercampur
dalam dirinya. Sadarilah kemudian, bahwa setiap baris, setiap laporan,
dan setiap ayat yang dibawa sebagai bukti para Nabi dan Orang Suci
merupakan dua bukti dan dua kesaksian mereka.
Bukti dan saksi itu mampu bertindak sebagai saksi terhadap banyak
peristiwa. Mereka menyaksikan setiap hal berdasar pada perkaranya.
Sebagai contoh, dua orang yang sama bisa jadi menyaksikan
penempatan rumah, penjualan pada toko dan perkawinan.
Dalam situasi apa pun dan dalam kondisi yang bagaimana pun,
mereka akan membatasi kesaksiannya pada setiap peristiwa yg terjadi.
"Bentuk" persaksian selalu sama, tetapi "Hakikatnya" tentu berbeda.
"Semoga Tuhan mengasihi kita dan kalian! Warna itu berasal dari darah,
tetapi wewangian itu berasal dari Kesturi!"

Dari Buku "Yang Mengenal Dirinya, Yang Mengenal Tuhannya!"
Oleh : Jalaluddin Rumi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar