kad2

duit bux

>>> Jika Anda pengunjung muslim mohon baca Shalawat sejenak dengan khusyu', terimakasih... <<<

Senin, 06 Desember 2010

Tiga Jurus Jitu

“ Kamu lagie!! Kataku ketus. “iya,” Jawabnya ringan. “knapa sih, slalu mengikutiku?!” tanyaku agak membentak, ‘ih siapa suruh ? kan kamu yg mngundangku.’ Aku mndengus kesal. Huuh! Orang yang satu Ini memang kebangeten. Kemana saja aku pergi, pasti ia ngikutin. Apalagi kalo ditanya pasti jawabnya ngawur. Masa, dibilang aku yang mengundang nya. Non sense, lah.. memangnya aku cowok apan? Boro2 ngundang dia. Ngliat tampangnya aja aku dah muak.
“heh!! Namamu siapa sih?”
“ dih pke nanya lagi jangan sok bloon lah…” aduh!! Sinting apa?? Ditanya serius malah Dih dih!! Mulu.
“ya sdah !” aku nggloyor mninggalkan dia”
“Eh jngan marah atuh,maaf ya…”
“bodo!!” aku mempercepat langkah. Sdikit-sdikit aku mngok kebelakang. Tuh, kan, ia pasti membuntutiku. Dasar!sekali lagi aku mempercepat langkahku. Berlari bak dikejar hantu. Menyelinap diantara orang2 yang lalu lalang di jalan. Mereka nmpak keheranan mlihatku. Munqn dikira aku pencopet yang sedang dikejar petugas keamanan. Tapi aku tak peduli aku terus berlari. Memasuki gang-gang sempit kutengok ke belakang. Ah lega… ia tak tampak lagi. Rasain lho…!
Aku berhenti dibawah pohon rindang melerai nafasku yang masih tersengal memburu. Pasti ia khilangan jejak. Batinku puas.  Aq rebahan di rerumputan ketika tiba-tiba sebuah suara mengagetkanku.
                ‘Halloo..?’
                “ha..!! kau?? Gila! Secepat ini ia mnyusul ku? Bahkan kulihat ia cukup santai. Seperti terbang mengikutiku. Sedikitpun tak tampak raut muka kelelahan di mukanya. Aneh!
                Siall..!!! sambil berteriak seperti itu, aku melemparnya dengan seonggok batu. Tapi… ha??!! Aq menatapnya setengah percaya kurasa lemparanku tepat mengenai tubuhnya. Tapi batu itu seperti tembus kebelakang menerpa ruang hampa. Sedikitpun ia tak bereaksi. Apalagi kesakitan. Yang ada malah ia tersenyum menyeringai. Hantu??  Hiii…
                Ada apa? Takut, ya?” sepertinya ia bisa membaca perasaanku. Aku menatapnya tajamuntuk memperlihatkan keberanianku. Paddahal aku memang begidik.
                “Ha.. Ha…. Ha….” Ups! Aku terhnyak. Tawanya terasa aneh dan mengerikan. Perasaanku makin genting. Kurasa ia bukan mahluk biasa. Berulang kali mulutku berdesis menyebut asma Allah. Memohon perlindunganNya. Allah, Allah, Allah… sontak, ada desir kedamaian menyelinap dihatiku. Makin sering aku meyebut asmaNya dsir itu makin deras. Mengusir ketakutanku. Kembali aku mngulang asmaNya dengan khusuk. Allah…. Allah…
                “Assalamualaikum.” Seorang laki-laki mengenakan pakaian putih-putih sudah berdiri tegak dihadapanku. Entah dari mana ia datang. Yang pasti orang ini sangat lain dari orang gila yang selalu membuntutiku. Orang ini kelihatan santun dan mengesankan.
                “Wa’alaikumsalam. Anda siapa?” tanyaku hati-hati. Ia mengulurkan tangan kepadaku.
                “namaku Solusi. Antum?” ia balik tanya.
                ‘ aq Al faridzi,” jawabku masih menatapnya heran. Baru saja aku dibikin pusing oleh orang gila yang selalu mengikutiku. Eee… datang lagi orang aneh yang tak kalah misteriusnya. Hei! Dimana sibrengsek itu? Ah…. Sekarang aku tahu. Rupanya orang ini telah mengusirnya. Ia datang tepat waktu.
                “Sol, eh, ngg.. Lus..”
“panggil aja, Lusi,” selorohnya santai.
“emm…. Mas Lusi, terimakasih telah menolongku.”
“menolong apa?”
“ah, sudahlah, tidak usah merendah… mas Lusi yang mengusir sibrengsek itu, kan?”
“si Brengsek. Siapa itu?” ia malah balik nanya. Kmudian aku menceritakan semuanya. Ia mendengarkan dengan seksama. Kurasa ia sosok yang tepat untuk berbagi cerita.
“mulai kapan antum mengenal dia?” tanyanya meminta penjelasan.
“sudah lama. Munkin sejak lahir.”
“sejak lahir??” ulangnya keheranan. Ah, tapi kurasa ia hanya berpura-pura saja. Senyum tipis dibibirnya seperti menyimpan sesuatu.
“iya, sejak lahir. Dulu, saat aku masih berumur sekitar enam tahunan, ia sudah sering mendatangiku. Saat ku sedang asik-asiknya bermain dengan temanku, ia iseng menggangguku. Membuatku berantem dengan temanku. Saat aku tamat SD ia juga datang. Gara-gara dia, aku tak jadi melanjutkan sekolah.”
“farid, saat itu aku juga mendatangi mu, kan?” Ha!!.. aku terhenyak. Aku berusaha memutar seluruh ingatanku. Aneh, rasanya memang aku bertemu denganorang ini meskipun aku tak tau persis namanya.”
                “iya, Rrid. Saat itu aku menawarkan padamu untuk mengikutiprogram SLTP terbuka, “ sambungnya membantu mengikatkanku.
                “iya, benar,” sahutku sdikit ragu. Ingatanku mulai pulih. Rasanya yang ia katakan memang benar.
                “terus…”
                “saat aku tamat dari pesantren, ia juga mendatangi ku. Ia mengacaukan pikiranku. Aku menjadi bimbang. Saat itu aku ingin kuliah, tapi tak ada biaya. Ingin kerja, kerja apa. Mau pulang, mukim dikampung, rasanya aku belum siap.”
                “saat itu kamu juga ingin menikah, kan?” selanya meledekku. Kok tahu??
                “iya. Tapi lagi-lagi gara-gara dia, aku putusan dengan calon istriku. Aku sangat…..”
                “sudah, sudah, “ ia menyetop ceritaku. “ yang sudah berlalu biarlah berlalu. Ambil hikmahnya. Jadikan pelajaran. Tataplah masa depan dengan penuh optimisme. Allah pasti akan menolong hamba-hambaNYA yang beriman.” Aku manggut-manggut mendengarkan nasihatnya.
                “ Rid, sudahlah. Kamu tak usah khawatir. Kalau si brengsek itu datang aku pasti akanmembantumu. Asal kau penuhi tiga syarat.”
                “apa itu?” kejarku bersemangat.
                “sabar, ikhtiar, dan tawakkal.” Aku tepekur sejenak berusaha mencerna kemauannya ketika tiba-tiba raib dari hadapanku, bak air menguap. Solusi…… siapa sbenarnya dia. Ah biarlah. Siapapun dia, yang pasti sekarang aku menjadi tenang. Apalgi ia telah memberiku senjata ampuh jika sewaktu-waktu si brengsek itu datang menggangguku.

                Sekarang tanggal 13 Juni. Seminggu lagi aku harus membayar semesteran. Mana belum ad uang. Empat ratus ribu. Munqn jumlah itu terlampau kecil buat orang lain . tapi bagiku, uang sejumlah itu cukup besar. Boro-boro buat bayar kuliah. Buat makan sehari-hari saja kembang kempis.
                “hai…. Apa kbar say…” yh,  dia datang lagi .
                “say, say, say pergi sana!!” bentakku kasar.
                “dih, pergi. Siapa suruh datang kesini? Kan kamu yang mengundangku.”
                “apa? Aku yang mengundangmu? Tidak ada jawaban lain apa?!” ah, baiklah, aku teringat nasihat solusi. Aku akan mengusirnya dengan tiga jurus jitu itu; sabar, tawakal, ikhtiar. Astaghfirullah…. Aku mengelus dada untuk memulai jurus yang pertama; sabar. Sungguh ajaib kulihat sibrengsek tubuhnya mulai mengecil. Belum sempet aku mengeluarkan jurus yang kedua dn ketiga, ternyata si brengsek itu telah lenyap. Alhamdulillah….
                “Assalamualaiku.”
                “Waalaikumsalam.” Solusi datang. Kurasa ia memang orang yang tepat janji.
                “lusi, Terimakasih. Jurus itu bener-bener jitu.”
                “ah, sudahlah… tak usah berterimakasih. Semua itu bukan karena aku kok, katanya merendah.
                “dia sudah pergi?”
                “alhamdulillah. Semua itu berkat bantuanmu.”
                “ Rid, ia itu bukan hanya musuhmu, ia juga musuhku. Bahkan musuh semua orang. Ia datang untuk menguji manusia. Cara mengalahkannya, ya itu tadi. Dengan tiga jurus jitu. Sabar, ikhtial, dan tawakan. Tapi terkadng manusia tak bisa mengamalkan tiga jurus itu, akibatnya ia putus asa. Bahkan ada yang smpai bunuh diri. Na’udzubillah…,” tuturnya penuh perasaan.
                “jadi kamu sudah mengenalnya?’
                “iya.”
                “kamu juga tau namanya?” kejarku lagi.
                “namanya Masalah.”
                “Ooo…”
                Pagi-pagi buta. Aku sudah bangun. Shalat subuh berjamaah, mandi, selanjutnya siap beraktifitas. Pagi itu rencanya aku akan pergi ke rumah temanku. Sulaiman. Munkin ia bisa meminjamiku uang untuk membayar semesteran. Aku melangkah dengan segenap optimisme. Aku yakin, Allah akan memberi pertolongan.
                Sekitar jam 11.00, aku sampai di rumahnya. Kulihat rumahnya sepi. Berulangkali aku mengetuk pintu dan megulang – ulang salam. Tapi tak ada jawaban dari dalam.
                “nyari siapa, mas?” tetangga sebelah menghampiriku.
                “Dede Sulaiman, mbak”
                “Oo…, sedang kesurabaya, bersama orangtuanya.” Spontan kakiku lemas. Aku tak tau lagi harus kemana mencari pinjaman uang. Padahal waktunya tinggal sehari. Lusa harus sudah lunas. Tapi sekali lagi aku teringat nasihat Solusi. Sabar, ikhtiar, tawakal. Kemudian aku beranjak meninggalkan rumah besar itu aku tetap bersemangat. Dalam hati aku berukir janji. Aku tetap akan berusaha dengan seribu harapan. Hanya itu yang bisa kulakukan. Selebihnya terserah Allah. Dia maha kuasa untuk menentukan segalanya. Dia maha tahu mana yang terbaik buat hambaNya. Semua ini pasti ada hikmahnya.
                “ada pesan, mas, biar saya sampaikan kalau dia pulang ,” sapa wanita itu menyadarkanku.
                “emm,.. tidak mbak biar saya main kesini lagi saja, kapan-kapan. Terima kasih, mbak.” Wanita itu mengangguk. Kemudian beranjak meninggalkanku.
********
 Sampai detik ini, aku belum mendapatkan uang. Ini adalah hari terakhir pembayaran. Bagi diapapun yang terlambat bayar. Ia harus mengulang semester depan.  Bgitulah aturan yang berlaku dikampusku. Disiplin tapi terkadang terasa mencekik orang-orang spertiku. Aku tak tau lagi harus meminjam uang kesapa lagi tahu sendirikan, dijakarta terlalu banyak orang yang yang tak bisa dipercaya. Akibatnya mereka juga enggan menolong orang lain karena semua orang dianggap sama. Tak terkecuali aku. Padahal aku disini tak ada sanak sodara.
                Ah, baiklah. Aku tak boleh menyerah. Aku akan membuat surat permohonan penundaan pembayaran. Rencana ini kulakukan. Tapi setelah semuanya kuajukan, ternyata sia-sia. Permohonanku ditolak. Katanya tidak hanya satu dua mahasiswa yang mengajuka permohonan serupa. Kalau dituruti, apa jadinya? Kalau tak ada biaya, tak usah kuliah saja! Ilmu mahal bung..! masya Allah….! Orang-orang kantor telah berubah menjadi manusia besi. Mungkin mereka terlalu sering berintraksi dengan komputer, kertas, dan benda-benda tak bernyawa lainnya, sehingga mereka lupa bagaimana bergaul dengan manusia.
                Aku keluar dari akademik sedikit kuyu. Tapi aku tak berkecil hati aku telah berusaha. Apapun yang terjadi, pasti ada hikmahnya. Semuanya tak akan pernah sia-sia. Di dalam lift, aku bertemu dengan Zul Hidayat, teman sekelasku.
                “Des, gimana pembayaran. Sudah beres?”
                “terpaksa ngulang, Zul.”
                “ah, jangan bercanda!”
                “serius.”
                                “Des, bayar aja sekarang. Nih, duit.” Zul mengulurkan lima lembar seratus ribuan. Aku terbelalak tak percaya.
                                “ambil…,” katanya meyakinkan.
                                “kapan aku harus bayar, zul?”
                                “sudah… pakai dulu, nggak usah dipikirin.”
                Alhamdulillah!! Aku mengadahkan tangan bersyukur. Solusi itu datang lagi tanpa kuduga-duga. Semua itu kurasa karena aku telah mengamalkan tiga jurus jitu itu. Sabar, Ikhtiar, dan Tawakal. Terima kasih ya Allah. Terimaksaih solusi. Tiga jurus jitu itu benar-benar jitu.
******

Rewrite by ‘Isk’ F5 graphik. from‘ I love U Ustadz!’ (Thohorin el-Ashry, Imaji Angkringan Literature Publisher)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar